ASPERGILUM
berasal dari bahasa Latin “aspergere” yang berarti “mereciki”,
adalahsebatang tongkat pendek, di ujungnya terdapat sebuah bola logam
yangberlubang-lubang, dipergunakan untuk merecikkan air suci pada orang atau
benda dalam Asperges dan pemberkatan. Bejana Air Suci adalah wadah yang
dipergunakan untuk menampung air suci; ke dalamnya aspergilum dicelupkan.
SACRAMENTARIUM
atau Buku Misa adalah buku pegangan imam pada waktu memimpin
perayaan Ekaristi, berisi doa-doa dan tata perayaan Ekaristi.
WARNA
DAN BUSANA LITURGI
AMIK
(Tanda Perlindungan)
Selembar
kain lenan putih berbentuk segi empat dengan dua tali panjang di dua ujungnya, dikenakan
sekeliling leher, menutupi bahu dan pundak, menyilangkan kedua tali di depan
(membentuk salib St Andreas), lalu membawa tali ke belakang punggung,
melilitkannya sekeliling pinggang dan mengikatkannya dengan suatu simpul.
Tujuan
praktis amik adalah
untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat dari kepala dan
leher. Di kalangan Graeco-Romawi, amik adalah penutup kepala, seringkali
dikenakan di bawah topi baja para prajurit Romawi untuk menyerap keringat,
dengan demikian mencegah keringat menetes ke mata.
Tujuan
rohani amik
adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong
keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17).
Doa ketika mengenakan amik:
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”
ALBA
(Citra Kekudusan)
Alba
adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan memiliki
lengan panjang hingga pergelangan tangan. Kata alba dalam bahasa Latin artinya
“putih”.
Alba
adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan mirip
dengan soutane yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang berwenang
mengenakan alba dengan kualitas yang lebih baik dengan aneka sulaman atau
gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik tidak diperlukan
lagi.
Tujuan
rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain putih
diselubungkan padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa, kemurnian
hidup baru, dan martabat Kristiani. Di samping itu, Kitab Wahyu menggambarkan
para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba di surga sebagai “Orang-orang
yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka
dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (7:14).
Demikian
pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan
dengan kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk
Indonesia, jika tidak ada alba, maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih.
Doa
ketika mengenakan alba:
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”
SINGEL
(Tali Kesucian)
Singel
adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua ujungnya, yang
diikatkan sekeliling pinggang untuk mengencangkan / merapikan alba. Singel
merupakan simbol nilai kemurnian hati dan pengekangan diri. Singel dapat
berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Di kalangan
Graeco-Romawi, singel adalah bagaikan ikat pinggang.
Tujuan rohani singel adalah mengingatkan imam akan
nasehat St Petrus, “Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan
letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan
kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang
taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu,
tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia
yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15).
Doa ketika mengenakan singel:
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”
STOLA
(Lambang Penugasan Resmi)
Stola
adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya, warnanya sama dengan
kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola diikatkan di pinggang dengan singel.
Stola merupakan simbol bahwa pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja,
terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa
ketika mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan.
Sebelum pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola
disilangkan di dada imam untuk melambangkan salib. Stola juga berasal dari
budaya masa lampau. Para rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-jumbai
sebagai tanda otoritas mereka.
Stola yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari
ikat pinggang bersilang yang dikenakan para prajurit Romawi: satu ikat pinggang
dengan pedang di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan kantong perbekalan,
misalnya air dan makanan.
Dalam
arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan martabatnya
sebagai imam, melainkan juga tugas kewajibannya untuk mewartakan Sabda Allah
dengan gagah berani dan penuh keyakinan (“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan
lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani
kebutuhan umat beriman. Sekarang, imam mengenakan stola yang dikalungkan pada
leher dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan.
Stola
yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar
dikenakan di atas kasula.
Doa ketika mengenakan stola:
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.
KASULA
(Lambang Cinta dan Pengorbanan)
Kasula,
disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan
stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran
utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan
keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh
pengorbanan diri bagi Tuhan.
Selama
berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan variasi.
Kasula berasal dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”; kasula di
kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol tanpa lengan yang sepenuhnya
menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk. Tujuan rohani kasula
adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan Kristus, “Dan di atas
semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan
menyempurnakan” (Kol 3:14).
Doa ketika mengenakan kasula:
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”
Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama yaitu :
- “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).
- busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang kaya makna.
WARNA LITURGI
Penjelasan
berikut disampaikan berdasarkan norma-norma Pedoman Umum Misale Romawi no
345-347.
PUTIH
atau KUNING
Melambangkan
sukacita dan kemurnian jiwa, dikenakan sepanjang Masa Natal dan Masa Paskah.
Busana liturgis putih juga dikenakan pada perayaan-perayaan
Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya); begitu pula pada pesta
Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada Hari
Raya Semua Orang Kudus (1 November), Kelahiran St Yohanes Pembaptis (24 Juni),
Pesta St Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta Tahta St Petrus Rasul (22
Februari) dan Pesta Bertobatnya St Paulus Rasul (25 Januari).
Putih
juga dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani dan Misa Arwah guna
melambangkan kebangkitan Tuhan kita, ketika Ia menang atas dosa dan maut, kesusahan
dan kegelapan.
MERAH
Di satu pihak, merah melambangkan pencurahan darah; di
lain pihak, merah juga melambangkan api kasih Allah yang bernyala-nyala.
Karenanya, busana liturgis merah dikenakan pada hari Minggu Palma (ketika
Kristus memasuki Yerusalem untuk menyongsong kematian-Nya), pada hari Jumat
Agung, pada hari Minggu Pentakosta (ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan
lidah-lidah api hinggap di atas kepala mereka), dalam perayaan-perayaan
Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil (terkecuali St
Yohanes yang tidak mengalami kemartiran), dan pada perayaan-perayaan para
martir.
HIJAU
Dikenakan
sepanjang masa liturgi yang disebut Masa Biasa. Masa Biasa berfokus pada masa
tiga tahun pewartaan Tuhan kita di depan publik, dan ayat-ayat Injil,
teristimewa pada hari-hari Minggu, mengisahkan ajaran-ajaran,
mukjizat-mukjizat, pengusiran setan dan perbuatan-perbuatan baik lain yang
dilakukan-Nya selama masa itu.
Segala pengajaran dan peristiwa ini mendatangkan
pengharapan besar dalam misteri keselamatan. Kita berfokus pada hidup-Nya yang
Ia bagi bersama umat manusia semasa hidup-Nya di dunia ini, hidup yang sekarang
kita bagi bersama-Nya dalam komunitas Gereja dan melalui sakramen-sakramen-Nya,
dan kita menanti dengan rindu berbagi hidup abadi bersama-Nya dalam
kesempurnaan di surga. Hijau melambangkan pengharapan dan hidup ini, sama
seperti tunas-tunas hijau yang menyembul di antara pepohonan yang tandus di
awal musim semi membangkitkan pengharapan akan hidup baru.
UNGU
dikenakan
selama Masa Adven dan Masa Prapaskah sebagai tanda pertobatan,
kurban dan persiapan. Di pertengahan dari masing-masing masa ini: pada hari Minggu
Gaudete (Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) -
busana liturgis berwarna JINGGA
biasa dikenakan sebagai
tanda sukacita.
Kita
bersukacita di pertengahan masa ini karena kita telah melewati separuh
persiapan kita dan sekarang mengantisipasi kedatangan sukacita Natal atau
Paskah.
Beberapa
ahli liturgi, khususnya di Gereja Episcopal, memperkenalkan busana liturgis
berwarna biru sepanjang Masa Adven guna membedakannya dari Masa Prapaskah;
namun demikian, tidak ada persetujuan yang diberikan oleh Gereja Katolik untuk
busana liturgis berwarna biru ini. Ungu dapat juga dikenakan pada Misa
Pemakaman Kristiani atau Misa Arwah.
HITAM
walau
sekarang jarang sekali dipergunakan, dapat dikenakan pada Misa Pemakaman
Kristiani sebagai tanda maut dan duka. Hitam dapat juga dikenakan pada Peringatan
Arwah Semua Orang Beriman atau Misa Arwah, misalnya pada hari
peringatan kematian orang yang kita kasihi.
Pada
dasarnya, keanekaragaman warna busana liturgis berupaya membangkitkan kesadaran
kita akan masa-masa kudus; suatu upaya lahiriah lain untuk menghadirkan
misteri-misteri kudus yang kita rayakan.







0 komentar:
Posting Komentar